Tidak ada rotan akar pun jadilah, setidaknya itulah ungkapan nyanyian untuk menyenangkan hati pada sebuah lagu berjudul “Changbogo”. Daripada tidak ada, ya diterima saja yang ada meski dapatnya pada tikungan terakhir. Karena bungkusan pengadaan itu berlabel transfer teknologi, sebuah paham baru dalam setiap pengadaan alutsista berteknologi modern.
KRI Nanggala 402 |
Saat ini sedang didengungkan melalui gelombang FM siaran pemerintah bahwa negara ini resmi menganut paham “maritimiyah” dalam perjalanan sejarahnya lima tahun ke depan. Artinya akan memaksimalkan potensi kemaritiman termasuk menjaga kedaulatan, kebanggaan, naluri bahari dan keuntungan finansial yang ada di dalamnya. Laut dan kekayaan yang ada didalamnya adalah milik bangsa Indonesia dan akan dieksploitasi semaksimal mungkin, termasuk dijaga sekuat mungkin. Itulah tekad yang sudah didengungkan.
Ironi selama hayat dikandung badan negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan justru tidak pernah memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan yang dimilikinya. Berpuluh tahun hanya berorientasi pada “tanah tok” padahal jelas-jelas disebut “tanah air” Indonesia. Sumber daya air, sumber daya kelautan, sumber daya perikanan dan sumber daya energi fosil di laut dibiarkan saja alias tidak dikelola dengan manajemen pemberdayaan.
Termasuk urusan pertahanan, yang diperkuat hanya matra darat sementara matra laut apalagi matra udara tak memiliki kekuatan pukul apalagi gebuk. Lima tahun terakhir ini ada pergeseran perkuatan. AL dan AU mulai diperkuat dengan mendatangkan berbagai alutsista berkualifikasi striking force. Khusus untuk AL perkuatan armada tempurnya mengabaikan kekuatan alutsista bawah air. Mengapa demikian, karena 3 kapal selam buatan Korsel yang sedang dibangun itu belum mampu menggaharkan secara kualitas apalagi kuantitas.
Armada KRI, kapal selam harus mengawalnya |
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan kekuatan 12 kapal selam yang dimiliki Indonesia pada saat Trikora, merupakan faktor penggentar yang membuat Belanda harus cabut dari bumi Papua berdasarkan rekomendasi AS. Soalnya pesawat mata-mata AS yang berpangkalan di Filipina waktu itu menangkap jelas kegiatan operasi kapal selam Indonesia di perairan Maluku. Tetapi setelah itu kita seperti melupakan faktor penggentar yang mampu mewibawakan teritori laut NKRI itu.
Tahun-tahun berikutnya satuan armada kapal selam seperti di bonsai bahkan sempat mati suri hanya dengan mengoperasikan KRI Pasopati di akhir tahun tujuh puluhan. Mulai tahun delapan puluh sampai saat ini praktis kita hanya punya 2 kapal selam, ya sikembar itu Cakra dan Nanggala. Bahu membahu mereka berdua menjalankan tugas rahasia dengan frekuensi tinggi. Dua-duanya telah melaksanakan overhaul di Korsel, dua-duanya telah menjelajah lekuk-lekuk bawah air negeri ini tanpa pernah mengeluh. Kasihan banget si kembar itu yang memang harus “tabah sampai akhir”, sesuai motto korps Hiu Kencana.
Era presiden “maritim” Jokowi, kita sangat mengharapkan adanya revisi cara pandang, revisi cara lihat betapa kita harus punya alternatif lain untuk menambah kapal selam tanpa harus menunggu Changbogo selesai dibangun. Tegasnya ada perolehan percepatan pengadaan kapal selam dari jenis lain untuk memperbanyak kuantitas dan meninggikan kualitas armada kapal selam.
Singapura sudah punya lima kapal selam dan pesan lagi 2 kapal selam teknologi Jerman terkini. Padahal negerinya cuma seluas Batam. Vietnam sudah punya 4 kapal selam Kilo dari Rusia, demikian juga Malaysia dengan 2 Scorpene. Negeri-negeri itu punya kapal selam dengan teknologi dan persenjataan gahar sementara RI meski unggul dalam jumlah kapal perang atas air, armada kapal selamnya kalah kelas, jelas kalah kelas. Itulah sebabnya memang harus “tabah sampai akhir”.
Harus ada penambahan minimal 4 kapal selam selain Changbogo. Bisa saja dari Jerman atau Rusia, terserah pengambil kebijakan. Kita butuh minimal 4 kapal selam selain Changbogo untuk menghadapi cuaca ekstrim yang diperkirakan akan terjadi di kawasan regional kita. Tahun 2020 armada angkatan laut Cina sudah menjelma menjadi srigala. Negara tetangga kita saja sudah bersiap dengan cuaca ekstrim dengan memperkuat armada kapal selam mereka.
Jangan sampai kita kembali “telat mikir” dengan membiarkan satuan kapal selam terlunta-lunta. Sudah seharusnya kita menjadikan satuan kapal selam setara dengan kekuatan di era Trikora dan Dwikora. Orientasi kemaritiman yang didengungkan dengan nada tinggi mestinya diimbangi dengan perkuatan armada laut khususnya satuan kapal selam. Bukankah ujung-ujung dari program kemaritiman itu adalah kewibawaan kedaulatan. Komponen utama penjaga nilai itu adalah armada KRI dengan kekuatan bawah laut yang disegani. Masih ada yang membantah ?
0 Response to "Memperkuat Armada Kapal Selam"
Posting Komentar